Lebih lanjut Dimas menyatakan serangkaian tindakan Presiden Joko Widodo yang kerap kali memberikan penghargaan dan karpet merah bagi pelaku kejahatan HAM di Indonesia yang tak terduga tentu turut memperkuat rantai impunitas di bumi pertiwi.
“Hal ini kembali menunjukkan bahwa mekanisme pemeriksaan hak asasi manusia tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya pemeriksaan latar belakang atau rekam jejak personel yang akan menduduki jabatan-jabatan publik atau yang disebut juga mekanisme vetting, merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif, namun tidak pernah berjalan di Indonesia sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada tahun 1998.
“Padahal, soft law internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni dalam Update Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity pada Februari 2005 (Rangkaian Prinsip yang Diperbarui untuk Perlindungan dan Promosi HAM Melalui Tindakan Memerangi Impunitas) dalam Prinsip 36 menyebutkan “Pejabat publik dan pegawai yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya yang terlibat di sektor militer, keamanan, polisi, intelijen dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga-lembaga Negara.” (Pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara),” kata Dimas.
Lebih dari itu, masih kata Dimas pemberian gelar kehormatan terhadap Prabowo Subianto jelas-jelas akan merusak nama baik institusi TNI.
Ia menambahkan bagaimana mungkin orang yang dihentikan oleh TNI pada masa lalu karena terlibat atau bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusiaan hari ini akan diberi gelar kehormatan.