Korban penculikan yang selamat seperti Anda kemudian ada yang bergabung dengan Prabowo, dengan keyakinan Prabowo hanya menjalankan perintah atasan kala itu. Bagaimana Anda melihatnya?
Kalau masalah pilihan politik, bahkan aku akhirnya mengambil pilihan politik. Aku sedari awal sadar bahwa perjuangan untuk keadilan, kebenaran, atas peristiwa penculikan aktivis dan sebagainya, atau perjuangan HAM secara umum, itu adalah perjuangan politik.
Aku enggak kuat ketemu [keluarga korban penculikan-penghilangan] seperti Pak Utomo (ayah Petrus Bima Anugrah), Pak Paian Siahaan (ayah Ucok M Siahaan), Mbak Sipon (istri Wiji Thukul), Fajar dan Wani (anak Wiji Thukul). Aku masih berusaha menggunakan moral dalam politik. Kalau yang lain mungkin ada yang tidak, lebih politik [praktis].
Aku masuk ke Kantor Staf Presiden per Februari 2020 pun karena pertimbangan utama untuk kepentingan korban, bukan pertimbangan personalku. Karena harus ada yang diperjuangkan dari dalam. Kan kita sudah 25 tahun berjuang dari luar, apa hasilnya?
Sekarang aku berada di KSP, tapi soal sikap politik elektoral ya sampai saat ini, sampai 2024, kami berusaha untuk konsisten menolak capres pelanggar HAM. Sejak Megawati menggandeng Prabowo [sebagai cawapres pada 2009], kami sudah tolak. Aku sudah tolak.