“Hal ini berimplikasi pada kecenderungan terlibatnya militer dalam kehidupan politik, dan sebagai konsekuensinya sulit untuk menciptakan TNI sebagai alat pertahanan negara yang kuat, profesional, dan modern,” ujarnya.
Penting dicatat, Gufron menjelaskan agenda reformasi TNI 1998 telah mengamanatkan kepada otoritas politik, dalam hal ini Pemerintah dan DPR untuk merestrukturisasi komando teritorial (koter), yaitu eksistensi Kodam hingga Koramil di level yang paling bawah.
“Pelaksanaan agenda tersebut senafas dengan upaya penghapusan peran sosial-politik ABRI/TNI yang didorong pada tahun 1998, mengingat pengalaman historis di era Orde Baru ia lebih berfungsi sebagai alat politik kekuasaan, bukan untuk pertahanan negara,” jelasnya.
Gufron menegaskan penghapusan Koter secara tersirat telah diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang (UU) TNI menyatakan bahwa “dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Pergelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.”
“Dengan dasar tersebut, eksistensi komando teritorial mestinya dihapuskan, bukan ditambah dan disesuaikan mengikuti jumlah provinsi di Indonesia,” tegasnya.
Imparsial menilai, penambahan 22 Kodam baru, sehingga nantinya ada untuk setiap provinsi sesungguhnya lebih menyiratkan adanya sebuah kehendak untuk melanggengkan politik dan pengaruh militer, khususnya matra darat dalam kehidupan politik dan keamanan dalam negeri seperti zaman Orde Baru dari pada bertujuan memperkuat peran TNI dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara.