Nasional

SETARA Institute Sebut Janji Yang Tidak Ditunaikan Presiden Jokowi Pada Masyarakat Adat

Avatar of Redaksi Beritakanal.net
35
×

SETARA Institute Sebut Janji Yang Tidak Ditunaikan Presiden Jokowi Pada Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2024). Foto : Sandi
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2024). Foto : Sandi
4 / 100

Jakarta, Penurunan skor pada hak atas tanah sebesar -1,5 dibanding Indeks HAM 2019 dan -0,3 dibanding pada Indeks HAM 2022 menjadi implikasi dari masih menjalarnya konflik agraria.

Dihimpun berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2015-2021 mencapai 2.498 kasus, melampaui jauh dari masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berjumlah 1.770 kasus.

“KPA juga mencatat 73 konflik akibat PSN selama pemerintahan Jokowi dari tahun 2015-2023. Pengaturan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21/2023 tentang Perubahan UU 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) mengenai pemberian Izin Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun bagi investor di lokasi IKN hanya menjadi pelayan investor dan semakin memperkeruh konflik yang terjadi,” kata Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2024).

Selain itu, menurut Sayyidatul praktik ketersediaan ragam kanal uji tuntas baik HAM dan Lingkungan oleh negara kepada perusahaan yang masih bersifat voluntary dan tidak konsisten, menjadikan akuntabilitas dan analisis kepatuhan oleh bisnis sulit termonitoring dengan baik.

Dirinya menambahkan percepatan investasi menuntut tanggung jawab penyediaan kebijakan negara yang lebih serius dan bersifat mandatoris untuk pelaporan uji tuntas HAM dan Lingkungan yang mengikat praktik bisnis di Indonesia.

“Alih-alih memenuhi 9 janji Presiden Jokowi terhadap masyarakat adat, eskalasi konflik di atas wilayah adat semakin terjadi” ujarnya.

Sayyidatul mengatakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat masih ada 23,17 juta hektar atau sekitar 86,1% wilayah adat yang saat ini masih belum mendapat pengakuan oleh pemerintah daerah. Regulasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat.

“Pemberian HPL di atas tanah ulayat berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi,” ujar dia.

Lebih lanjut Sayyidatul menyampaikan catatan tahunan AMAN pada tahun 2022 menyebutkan bahwa sebanyak 2.400 hektar wilayah adat telah dirampas untuk Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Produksi, dan Kemitraan).

Ia menyebutkan AMAN mencatat bahwa selama sepanjang 2018-2022, setidaknya ada 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah masyarakat adat (Raden Aryo Wicaksono, 2023). Perampasan wilayah adat juga semakin terang terjadi melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan Presiden Jokowi.

“Dari 161 PSN yang sudah terealisasi hingga September 2023, banyak diantaranya justru dengan merampas wilayah adat,” jelasnya.

Belum selesainya permasalahan IKN yang dibangun di seluruh wilayah Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku, Sayyidatul menyebutkan pemerintah kembali merampas wilayah adat demi kepentingan PSN Rempang Eco-City di Pulau Rempang Batam pada September 2023.

“Konflik perampasan wilayah adat lainnya akibat PSN di antaranya proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, hingga proyek Geothermal di Manggarai,” ujarnya.