Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Nomor 87/PUU-XXI/2023 terkait Pasal 42 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Putusan ini mengabulkan dan mengubah ketentuan Pasal 43 UU KPK yang semula berbunyi “KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.” hingga ditambahkan frasa penegasan “Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.”
“Frasa ini dimaknai bahwa sepanjang perkara tindak pidana korupsi dilakukan bersama-sama oleh unsur sipil dan militer yang penanganannya sejak awal dilakukan oleh KPK maka perkara tersebut akan ditangani oleh KPK hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani kepada beritakanal.net di Jakarta, Sabtu (30/11/2024).
Angin Segar Di Tengah Keraguan Gerakan Anti Korupsi Yang Membuat Gusar
Menurut Julius, putusan ini membawa angin segar di tengah pengumuman Capim dan Dewas KPK oleh DPR minggu lalu.
Hasil pemilihan Capim dan Dewas KPK (20/11) yang lalu membawa berbagai keraguan terhadap masa depan gerakan anti korupsi.
“Sebab, unsur pimpinan, anggota hingga Dewas KPK didominasi oleh anggota calon yang berlatar belakang polisi dan memiliki berbagai rekam jejak buruk dalam kepatuhan anti korupsi,” ujarnya.
PBHI mengapresiasi putusan MK ini dengan harapan dapat menjadi “trigger” bagi kepengurusan baru untuk menangani berbagai kasus korupsi yang tak tersentuh. Masih segar ingatan kita pada kasus korupsi Basarnas pada Juli 2023 lalu.
“KPK melakukan operasi tangkap tangan dugaan korupsi tender proyek di Basarnas dan menetapkan 5 orang tersangka yang mana dua di antaranya adalah 2 orang prajurit aktif TNI,” kata Juius.
Pasca OTT tersebut, Julius menegaskan KPK mendapatkan teror dan kecaman dari Puspom TNI hingga KPK meminta maaf atas penetapan tersangka tersebut dan menyerahkan proses hukum tersebut kepada Puspom TNI dengan dalih kewenangan tersebut berada di peradilan militer.
Lebih mundur lagi, ada kasus korupsi pengadaan alutsista yakni pengadaan pesawat Sukhoi Tahun 2003, pengadaan helikopter AW101 dan lainnya.
“Kasus-kasus ini menemukan berbagai tantangan dan kesulitan dalam pengungkapannya baik karena dalih kerahasiaan negara maupun sistem hukum yang eksklusif melalui UU Peradilan Militer,” tegasnya.
“Berbagai peristiwa tersebut menjadi catatan kelam terhadap penyelesaian kasus hukum yang dilakukan prajurit aktif TNI,” tambah Julius.
Putusan MK Tanpa Agenda Perubahan UU Peradilan Adalah Hal Yang Sia-sia
Julius menyatakan PBHI memandang putusan MK menjadi “entry point” bagi KPK untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, khususnya bagi sektor-sektor yang selama ini “tidak tersentuh” oleh parat penegak hukum, seperti: Tentara Nasional Indonesia.
Selain itu, Putusan MK ini juga menjadi langkah awal bagi untuk melakukan perubahan terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“UU Peradilan Militer saat ini memberikan sistem hukum yang “eksklusif” kepada prajurit militer aktif terhadap tindak pidana yang dilakukan dan kerap menjadi sarana impunitas bagi para prajutif yang terlibat dalam kejahatan,” katanya.
Oleh karenanya, berdasarkan Putusan MK tersebut maka PBHI mendesak.
“KPK untuk mengungkap dan mengusut tuntas dugaan kasus-kasus korupsi melibatkan Tentara Nasional Indonesia,” tegas Julius.
Pemerintah dan DPR segera melakukan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan memasukkan dalam Prolegnas 2024-2029 dalam periode legislasi berikutnya
“Pemerintah mengevaluasi penempatan prajurit aktif TNI di berbagai instansi sipil yang bertentangan dengan UU TNI untuk menghindari permasalahan terkait penindakan hukum di balik UU Peradilan Militer,” tandas Julius.