Jakarta, Sejak tiga setengah tahun yang lalu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas telah berkali-kali menyampaikan komitmen di depan publik bahwa akan dilakukan penyederhanaan dalam pengajuan izin pendirian rumah ibadah.
Dalam Rancangan Peraturan Presiden mengenai Kerukunan Umat Beragama (Raperpres PKUB), Menag menghapus rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai syarat pengajuan izin pendirian rumah ibadah, sehingga syarat rekomendasi hanya satu, yaitu dari Kementerian Agama (Kemenag) melalui Kantor Wilayahnya.
Berbeda dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 tahun 2006 (PBM 2006) yang saat ini berlaku, rekomendasi yang dipersyaratkan dalam perizinan pendirian rumah ibadah berasal dari dua Institusi, Kantor Kemenag dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Gagasan tersebut didukung oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Namun sayangnya ditentang oleh Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, yang menilai bahwa seharusnya kebijakan perlunya rekomendasi dari FKUB patut dipertahankan. Hal ini karena rekomendasi FKUB dipandang sebagai suatu kebutuhan persetujuan dari pemuka-pemuka agama.
SETARA Institute mengapresiasi langkah progresif penghapusan syarat rekomendasi FKUB tersebut.
“Langkah tersebut lebih kompatibel dengan tata kebhinekaan Indonesia yang terdiri dari berbagai identitas agama dan kepercayaan,” ujar Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (10/8/2024).
Dalam beberapa laporan tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), SETARA Institute mendorong agar pemerintah menyederhanakan proses perizinan pendirian rumah ibadah.
“Selain itu, Pemerintah hendaknya melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif lainnya di dalam PBM 2 Menteri tahun 2006,” tegas Halili.
Menurut Halili, perlu ditegaskan bahwa hambatan dalam perizinan pendirian rumah ibadah bukan hanya mengenai rekomendasi FKUB.
Ia menambahkan salah satu syarat yang membatasi kelompok minoritas yaitu syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat.
“Formula 90/60 nyata-nyata menghambat terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh Pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk,” tegasnya.
Dalam pandangan SETARA Institute, dengan rencana dihapuskannya syarat rekomendasi dari FKUB, maka FKUB dapat dioptimalkan perannya dalam membangun dan memelihara kerukunan sesuai mandat institusional kerukunan antar umat beragama.
“FKUB mesti memainkan peran yang lebih intensif dalam memperluas edukasi dan kampanye toleransi, memperbanyak ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah. Hal itu mesti ditegaskan secara eksplisit dalam Raperpres PKUB,” tegas Halili
Secara faktual, menurut Halili dalam tata kebinekaan dan heterogenitas Indonesia yang kompleks, FKUB belum optimal dalam mencegah dan menangani berbagai pelanggaran KBB, khususnya gangguan tempat ibadah di berbagai daerah.
Dalam Laporan Kondisi KBB SETARA Institute, sepanjang 2023, sebanyak 65 tempat ibadah mengalami gangguan yang beragam, mulai dari penolakan pendirian, pembatasan pendirian, pelarangan pendirian, hingga penyegelan tempat ibadah.
“Angka gangguan tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, yang mana terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan sepanjang 2022,” ujarnya.
Halili menambahkan bahkan jika ditarik dalam spektrum waktu yang lebih panjang sejak riset KBB dilakukan pertama kali oleh SETARA Institute (2007-2023) telah terjadi 636 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah.
“Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas dalam relasi inter dan intra agama,” tambahnya dengan tegas.
Kembali Halili menegaskan dengan demikian, dibutuhkan transformasi kelembagaan dan peran FKUB.
“Antara lain, melalui; a) pergeseran asas keanggotaan FKUB, dari asas proporsionalitas menjadi asas inklusi, b) rekrutmen anggota FKUB secara lebih terbuka dan akuntabel dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil yang relevan di tingkat lokal, c) perluasan peran tokoh agama perempuan dalam FKUB dengan kebijakan afirmatif, misal minimal keanggotaan 30% tokoh agama perempuan, dan beberapa muatan progresif lainnya,” tegasnya lagi.
Selanjutnya Halili menyampaikan terdapat kemendesakan untuk mengakselerasi kebijakan progresif dalam Raperpres PKUB dengan muatan yang lebih komprehensif dan berpihak pada jaminan hak atas KBB seluruh warga negara.
Dirinya menyatakan janji Pemerintah kepada publik untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang PBM 2 Menteri tahun 2006 harus dipercepat, dengan konsolidasi muatan yang lebih sesuai dengan keragaman identitas di Indonesia.
“Hingga kini, tidak tampak akselerasi yang menggembirakan untuk melaksanakan komitmen mengenai kebijakan yang lebih progresif tentang pendirian rumah ibadah,” ujarnya.
Terkait pernyataan Wakil Presiden yang menentang gagasan untuk mempermudah syarat pendirian rumah ibadah, SETARA Institute memandang bahwa pernyataan publik Wapres tersebut cenderung berpihak kepada aspirasi kelompok mayoritas yang kurang sesuai dengan kebinekaan Indonesia.
“Sebagai pandangan pribadi, apalagi beliau adalah mantan Ketua MUI, statemen tersebut dapat dimaklumi, namun bila pernyataan beliau disampaikan dalam kapasitas sebagai Wakil Presiden, hal itu menunjukkan bahwa paradigma dan perspektif kebhinekaan di internal pemerintahan memang tidak solid dan menggambarkan egoisme sektoral akut antar institusi pemerintahan, yang berkontribusi besar bagi terjadinya stagnasi KBB dalam dua dekade terakhir,” tandasnya.